Socrates

Sokrates adalah filsuf ‘atipik’, yaitu, filsuf yang susah dicari padanannya di masa mana pun. Dia hidup sangat miskin, bahkan dikatakan bahwa dalam setahun dia  hanya menggunakan pakaian yang sama setiap hari. Suatu hari dia berjalan ke pasar, lalu dia berdiri di depan sebuah toko kelontong, mengamati barang-barang yang di jual di toko itu. Lalu dia berujar kepada salah seorang muridnya: “Betapa banyak barang yang tidak kubutuhkan di toko itu.”
Selain itu, dia adalah seorang filsuf yang tidak pernah menuliskan ajarannya—Platonlah yang menuliskannya—namun entah sudah berapa banyak aliran filsafat yang menyatakan diri sebagai pengikut Sokrates, menjadikan ajaran Sokrates sebagai landasan pemikirannya, menjadikan filsuf miskin itu sebagai rujukannya.
Tidak hanya sampai di situ. Orang yang menjadi rujukan banyak aliran pemikiran dan filsuf kontemporer ini dengan terang-terangan mengatakan bahwa dirinya disebut bijak karena justru dirinya tidak tahu apa-apa. Filsuf yang menjadi rujukan banyak pemikir sesudahnya hingga ribuan tahun ini adalah orang yang menyatakan dirinya tidak tahu apa-apa!
Dan justru orang seperti inilah yang kemudian dijatuhi hukuman mati oleh publik Athena. Dan dia memilih mati mempertahankan kebenaran yang diyakininya, juga iman monoteismenya, yang membuatnya dijatuhi tuduhan atheos (ateis alias tidak percaya dewa-dewi), ketimbang membayar denda atau mengikuti saran para muridnya untuk menyogok penjaga penjara agar dia bisa melarikan diri ke polis lainnya.
Semalam, saya berbicara dengan sahabat tercinta, Doddy Candra, yang turut ‘bertanggung jawab’ mengarahkan saya menekuni filsafat. Saya katakan bahwa di diri Sokrates, kita bisa melihat bagaimana wilayah privat dan publik itu tak terpisahkan. Pemisahan kedua hal tersebut adalah temuan modern.
Karena saat ini sedang ramai pembicaraan soal korupsi dan KPK, maka saya ambil contohnya tentang korupsi, agar jelas apa maksud saya ihwal privat dan publik.
Dalam tradisi klasik, pengertian istilah ‘korupsi’ dipahami dengan memperbandingkan dan merujukkannya pada kondisi yang sebaliknya, yaitu keutuhan, kemurnian, ketidakcelaan, integritas dan kondisi ideal, yang tidak hanya dinisbatkan pada kualitas karakter dan tindakan pribadi, tapi juga pada kualitas kelembagaan. Pengertian korupsi dalam tradisi klasik menekankan terutama pada kerusakan kualitas moral pribadi seseorang, juga tata kehidupan-bersama, dan tata kelembagaan. Dalam tradisi klasik, korupsi dipahami dalam pengandaian organiknya atas relasi antara kualitas moral pribadi dengan kualitas tata kelembagaan dalam kehidupan-bersama, karena tradisi klasik tidak mengenal pembedaan antara ranah publik dan privat. Baru kemudian, dalam tradisi modern, mulailah dikenal pembedaan antara ranah publik dan privat. Dalam tradisi modern, korupsi secara lebih eksplisit menyangkut penyelewengan kekuasaan publik yang dipahami dalam kaitannya dengan kemunculan otonomi lembaga-lembaga negara modern. Di sini, korupsi tidak lagi dipahami dalam pengandaian organiknya atas relasi antara kualitas moral pribadi dengan kualitas tata kelembagaan dalam kehidupan-bersama.
Dalam tradisi klasik, korupsi merupakan suatu konsep yang memberi arah penilaian akan tanda-tanda cacat dan ketiadaan moral yang sangat mendasar; bukan semata ihwal apa yang sudah diperbuat seseorang, tetapi juga mengenai bagaimana seseorang telah menjadi. Meski pun di sini terkesan bahwa korupsi merupakan masalah moralitas personal, namun korupsi juga menjadi masalah moral ketika itu terjadi dalam kaitannya dengan korupsi institusional.
Hilangnya unsur-unsur pengertian klasik dalam pengertian kontemporer secara konseptual memiskinkan korupsi karena terjadi pembatasan dan penyempitan dari pengertian korupsi itu sendiri. Apabila dalam tradisi klasik korupsi dipahami sebagai bagian sentral dari Filsafat Moral dan Filsafat Politik yang memiliki cakupan sangat luas, maka lambat laun, di dalam tradisi modern, dalam pengertian kontemporer, korupsi dipahami sebagai kebijakan publik. Karena tak ada kebijakan yang tidak konkret-operasional di era modern, maka pengertian korupsi pun menjadi semakin dipahami secara konkret-operasional. Sebab lainnya juga adalah karena pada era modern sudah dikenal pembedaan antara ranah privat dan publik, yang kemudian itu menjadi salah satu landasan juga dalam mendefinisikan apa itu korupsi.
Pada diri Sokrates, kita masih melihat filsafat sebagai ‘cinta kebijaksanaan’ bukan sebatas permainan rigor (ketat) dan rumit logika serta asah nalar dalam wilayah wacana yang disebar ke publik, tapi juga kebijaksanaan dalam arti bestari dan arif di ranah privat maupun publiknya. Dalam bahasa Inggris kita biasa menggunakan kata "wisdom".
Para pembelajar filsafat yang menyimak biografi para filsuf (post)modern tentu akan maklum dengan berbagai ‘kenyelenehan’ gaya hidup para filsuf tersebut. Saya tak perlu paparkan di sini karena akan memancing protes dari banyak orang yang meyakini bahwa wilayah privat dan publik memang sudah semestinya dipisahkan. Belum lagi kriteria moral dan etis yang akan dipermasalahkan berkepanjangan. Well, bukankah sejarah filsafat (post)modern adalah 'sejarah pertengkaran', demikian ujar guru filsafat pertama saya, Prof. Bambang Sugiharto.
Saya anggap Anda sudah tahu maksud saya. Oke?
Namun, pada diri Sokrates, kita masih bisa melihat kezuhudan, integritas antara yang dia katakan dengan keberaniannya mempertahankan perkataan tersebut dengan nyawanya, dan bagaimana dia juga menghormati hukum polis Athena sekali pun hukum itu memperlakukannya dengan tidak adil (sebab menurut Sokrates, tidak mengapa jika kita diperlakukan tak adil, asalkan bukan kita yang malah berbuat tak adil), bahkan dia pun menolak untuk melarikan diri.
Dalam filsafat (post)modern, nalar kita bisa diasah dengan tajam dan rigor, mempermasalahkan berbagai proposisi dan argumen, namun seperti apa kehidupan kita di wilayah privat, itu urusan masing-masing. Yang penting di wilayah publik Anda tidak korupsi, tidak menyakiti orang lain, tidak mencuri, tidak memperkosa, tidak merampok dan berbagai tindakan yang melanggar hukum lainnya, maka Anda adalah seorang warga yang baik. Kalau ditambah dengan bisa menulis artikel atau buku filsafat yang rumit? Wah, itu sih lebih baik lagi, karena bisa menghasilkan gelar, royalti, memutar modal penerbitan serta mengharumkan nama kampus dan bangsa.
Lalu, bagaimana dengan aspek bestari atau arif dalam filsafat dan kehidupan privat seorang filsuf? Maaf, Anda berbicara di zaman yang salah.
I love you, Socrates...

Related : Socrates

0 Komentar untuk "Socrates"