Saya memang sangat sering mengkritik merkantilisme pendidikan tinggi di berbagai kesempatan, dan, sialnya, banyak yang menafsirkan bahwa saya menginginkan agar semua orang jadi saintis atau filsuf, dan juga tak jarang ditafsirkan berpandangan tidak realistis karena "anti-materi". Well, itu aneh, karena saya pribadi meyakini bahwa setiap manusia itu punya misi hidup yang unik satu sama lain, sehingga secara lahiriah kemampuannya pun berbeda satu sama lain. Bagaimana bisa saya menginginkan semua orang menjadi saintis atau filsuf? Selain itu juga, saya sendiri bertahun-tahun hidup sebagai “kuli” di bidang penerbitan buku yang saban bulan menerima “gaji material” untuk menghidupi keluarga dan hal lainnya. Kini, saya pun dipercaya untuk menjadi dosen kalian, namun mungkin saya agak berbeda karena mengecam Kemenristekdikti dengan visi hilirisasinya yang mengarahkan kalian semua ke satu arah saja, yaitu menjalani hidup untuk menjadi ‘kuli berdasi’... Hanya itu pilihan yang disodorkannya untuk kalian. Dan saya menolak itu.
Oke, sekarang mari kita bicara yang agak konkret ihwal materi atau harta kekayaan dalam kaitannya dengan pendidikan. Mohon maaf kalau pembicaraan ini terasa begitu duniawi dan matre, tapi ini hanya sekadar upaya menggambarkan bahwa seharusnya pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, tidak lagi memperpanjang orientasi “menempa mentalitas kuli” yang sudah diterapkan sejak Belanda “berniat baik” memberikan pendidikan bagi bumiputera.
Apa sih merkantilisme pendidikan itu? Dalam sebuah acara peluncuran buku “Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan”, sebuah antologi yang dieditori guru filsafat Barat saya sampai hari ini, yaitu Prof. Dr. Bambang Sugiharto, saya diminta mewakili penerbit Jalasutra untuk memberi semacam kata sambutan. Maka saya mengambil satu paragraf yang ada dalam buku tersebut, yang setidaknya bisa menggambarkan secara tajam apa itu merkantilisme pendidikan yang terjadi di Indonesia:
“Buku ini sebenarnya adalah semacam upaya untuk mendapat gambaran yang lebih kaya tentang kerumitan dan dinamika bagaimana manusia selama ini memahami dirinya. Sebuah proses panjang untuk mengartikulasikan kembali setiap kali apa yang sesungguhnya dianggap berharga oleh manusia pada tingkat dasar bagi kiprah kuliah Pengembangan Kepribadian di perguruan tinggi khususnya, bagi segala kiprah pendidikan umumnya, terutama ketika institusi-institusi pendidikan kini berkecenderungan kuat sekadar menjadi lembaga ekonomi yang menjual pengetahuan sebagai komoditas, atau mereduksi diri dengan menjadi semacam balai latihan “pertukangan” belaka, yang memang melahirkan tukang yang ahli, namun tanpa visi; terampil, namun tanpa ruh dan isi. Bagaimana pun juga hidup dan kemanusiaan adalah poros utama dan dasar terdalam segala kiprah pendidikan. Maka agar pendidikan dapat bergerak ke depan secara tepat-sasaran dibutuhkanlah kajian ke belakang kembali tentang bagaimana manusia dipahami selama ini. Semacam back to the future, begitulah.”
Setelah membacakan petikan tersebut, saya berbicara tentang Sokrates (juga Platon) yang mendeskripsikan tentang keyakinannya bahwa setiap manusia itu mempunyai semacam cetak biru yang mereka istilahkan sebagai “arete”. Bahkan secara eksplisit Sokrates menyebut metode pendidikannya sebagai “maitike” (arti harfiahnya adalah metode bidan) atau semacam “bidan pengetahuan” yang membantu kelahiran pengetahuan dari para muridnya—bukan mencekoki atau menulisi kertas kosong seperti keyakinan tabularasa dari John Locke. (Bukan kebetulan bahwa ibunya Sokrates pun adalah seorang bidan.)
Dalam salah satu dialognya, Platon menuliskan sebagai berikut: “Jangan melatih anak untuk belajar melalui paksaan atau kekerasan, tetapi arahkan mereka ke sana dengan sesuatu yang menghibur pikiran mereka, sehingga dengan demikian Anda menjadi semakin lebih mudah menemukan dengan akurat bakat kejeniusan mereka masing-masing.” Dan, ribuan tahun kemudian, Albert Einstein pernah berkata bahwa “Semua orang terlahir jenius. Tetapi jika engkau memaksa seekor ikan harus punya kemampuan memanjat pohon, maka ikan itu akan menghabiskan seluruh hidupnya untuk mempercayai bahwa dirinya bodoh.”
Kini, coba Anda simak dua pernyataan berikut ini dan lihat ‘siapakah di antara keduanya yang merupakan pendidik sejati’?
“Bila tidak dipaksa maka anak tidak akan belajar. Jangan permisif! Lebih baik seribu anak stress daripada sejuta anak bodoh. (Jusuf Kalla)
“Anak hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu.” (Ki Hajar Dewantara)
Well, saya sadar keyakinan bahwa setiap manusia itu punya misi hidup tidak selalu berterima dengan baik. Saya pernah ditolak oleh kalangan Islam puritan yang menyatakan “Bukan begitu, kita itu harus menjadi seperti Rasulullah Saw”, walau sialnya saya tidak diberikan paparan detail dan jelas tentang apa itu menjadi “seperti Rasulullah Saw”. Dikejar pun, larinya ke slogan “harus menjadi seperti Rasulullah Saw”, yah, bolak-balik dekok-lah. Kalau menurut saya, Muhammad Saw menjadi Nabi karena memang itu adalah misi hidupnya, dan kenapa bukan Abu Bakar, ‘Umar, Utsman bahkan ‘Ali yang menjadi Nabi. Dan ihwal misi hidup ini bertebaran di hadis shahih dan juga perkataan para sufi yang telah mencapai ma’rifat.
Di kalangan yang agak nyinyir sama rasionalitas (yang seringkali khas Barat), mereka menolak dengan mengatakan “Ah, misi hidup itu hanya dalam artian tertentu saja” dan tanggapan lainnya yang lebih mengarah kepada ketiadaan cetak biru manusia, sehingga, konsekuensinya, kita bebas menafsir diri untuk menjadi apa pun. Well, sialnya, saya juga cukup mengerti apa maksud perkataan mereka (karena umumnya orang seumuran), bahkan bukanlah kesombongan kalau saya berkata “lebih paham hal itu secara teoretis” karena selama lebih dari 20 tahun saya masih tetap “basah kuyup” dalam pembelajaran filsafat Barat dan bahkan meneruskan pendidikan pasca sarjana di STF Driyarkara—sementara kebanyakan teman seangkatan atau seumuran saya sudah mengenyahkan wacana-wacana semacam itu dari hidupnya. Saya mengerti batasan-batasan jasadiah ini justru karena saya intens belajar wacana Barat.
Namun, keyakinan bahwa manusia itu punya misi hidup bukanlah sesuatu yang saya yakini secara teoretik saja. Setidaknya, dalam kadar sedangkal apa pun, secara empirik saya mengalami sendiri bahwa manusia itu memang memiliki energi minimal—suatu bayangan dari autentisitas manusia—yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam dunia pendidikan. Itulah yang kemudian saya paparkan dalam kata sambutan peluncuran buku di atas.
Dalam kata sambutan itu, saya mengambil contoh perbandingan antara saya dengan Pak Bambang.
Saya kuliah di FSRD ITB dengan mengambil spesialisasi Desain Produk. Pada zaman saya, Jurusan Desain termasuk jurusan dengan jumlah peminat tertinggi di ITB. Dalam hal persaingan dan jumlah peminat, Desain setaraf dengan Informatika dan Teknik Industri. Soal lapangan pekerjaan, menurut survey yang pernah diadakan oleh ITB sendiri, lulusan Desain ITB adalah lulusan yang tidak pernah menjadi pengangguran. Mereka selalu diterima di suatu perusahaan atau membuat perusahaan sendiri atau menjadi ”Ronin” alias “Samurai Tak Bertuan” yang menawarkan jasanya secara lepasan kepada berbagai klien. Dengan gambaran seperti itu, tidak berlebihan kalau saya bisa mengangan-angankan bahwa perusahaan besar otomotif atau elektronik adalah tambatan bagi masa depan saya nanti. Saya bahkan pernah kursus bahasa Jerman selama setahun karena berobsesi untuk menjadi desainer produk tulen. (Maklum, Bauhaus di Jerman yang dimotori oleh para tokohnya yang keturunan Yahudi adalah kiblat pendidikan desain di seluruh dunia.) Namun, apa yang akhirnya terjadi? Saya baru lulus setelah kuliah selama 19 tahun dan itu pun dengan IPK hanya 2,74.
Sementara Bambang Sugiharto, semenjak SMP dia sudah hidup di asrama untuk ditempa menjadi Romo bagi umat Katolik, namun saat menjelang pentahbisan dia mengundurkan diri karena, menurutnya, jiwa seni-nya terlalu besar ketimbang jiwa Romo-nya. Kuliah S1 dia tempuh di Filsafat Unpar, dan dia ulangi lagi di Filsafat UI. Berarti dia memiliki dua gelar S1 Filsafat dari dua Universitas. Kemudian dia kuliah S2 filsafat di Roma, dan kemudian, lagi-lagi, kuliah S3 filsafat juga masih di Roma. Sekarang dia telah menjadi Guru Besar atau Profesor Filsafat di Unpar. Tahukah Anda, kira-kira perusahaan manakah yang akan memperkerjakan seorang filsuf untuk berpikir teoretis dan merumuskan hal-hal tidak konkret yang terlihat lebih menyerupai pembuangan energi intelektual secara mubazir? Tahukah Anda bahwa Pak Bambang sendiri pernah mengemukakan bahwa untuk membuat kartu nama saja dia kebingungan setengah mati. Di dunia ini keterlaluan kalau ada filsuf ngaku filsuf. Gelar filsuf adalah penisbatan dari orang. Bayangkan, kata dia, masak di kartu namanya harus dicantumkan ”Bambang Sugiharto – Filsuf”. Toh, setelah melihat itu, orang pun tetap akan bertanya: ”Kalau begitu, Anda kerjanya di mana?” he he he...
Nah, sekarang mari kita lihat realitasnya hari ini. Saya adalah desainer gagal. IP saya dua koma alhamdulillah. Selama kuliah studio, saya selalu menjadi pecundang. Biasanya kuliah praktik itu dimulai dengan rumusan teoretik dan kemudian dilanjutkan dengan realisasinya melalui praktik. Saat merumuskan visi dan landasan teoretik desain, saya bisa menonjol dibandingkan yang lain. Namun, saat realisasinya menjadi produk, selalu saja model buatan saya paling parah. Sampai dosen saya mendamprat: ”Elo kalau berteori emang jago, tapi giliran bikin model elo yang paling dodol...” dan dia pernah menyarankan saya untuk menjadi dosen kuliah teoretik di Paramadina. Memang, kalau kuliah teoretik, saya bisa dengan mudah mendapatkan nilai A. Saya hanya butuh waktu sebentar untuk belajar. Hal ini sebenarnya telah terlihat di semester kedua tahun pertama di ITB. Waktu itu, di awal semester dua, dosen wali saya bertanya ini itu dan sampailah pada pertanyaan: “Menurut kamu, bagaimana nilai praktik kamu untuk semester ini?” Saya bilang: “Sama dengan semester sebelumnya Pak” Dia menegaskan: “Maksudnya B?” Saya bilang: “Bukan Pak, C.” Allah Maha Tahu, sungguh, waktu itu dosen wali saya terbelalak dan badannya langsung berdiri tegak mendengar “optimisme nilai C” tersebut. Yah, ternyata hari ini, saya malah hidup bukan dari bidang desain. Saya hidup dengan mengandalkan kemampuan teoretik saya yang sejak masa kuliah sudah terlihat menonjol dibandingkan teman seangkatan lainnya. Saya menjadi editor yang menangani buku-buku teoretik, menjadi penulis di beberapa media, dan menjadi pembicara dalam forum ilmiah, dan sekarang menjadi peneliti pula. (Apa ya rahasia dari kegagalan saya menjalani kuliah padahal saya sangat menyukai dunia akademik perguruan tinggi, ah semoga Allah berkenan memberikan kunci dari rahasia tersebut...)
Sementara Pak Bambang, beliau dengan sekian ijazah dari bidang filsafat yang rasanya susah laku buat perusahaan besar otomotif atau elektronik, malah bisa hidup dengan layak. Setiap tahun beliau selalu di undang ke luar negeri untuk menjadi pembicara di forum-forum seminar filsafat para filsuf sedunia. Rasanya, hampir berbagai penjuru dunia telah beliau kunjungi. Kemudian, setiap minggu selalu aja ada yang memintanya menjadi pembicara. Dalam sebulan rasanya beliau bisa jadi pembicara di 10 forum ilmiah di wilayah Jakarta dan Bandung. Itu saja sudah memberi tambahan pendapatan yang bukan sekadar lumayan. Belum lagi dimintai kata pengantar untuk buku-buku tertentu. Selain itu, beliau pun mengajar S2 dan S3 di FSRD ITB. Mau fakta lain yang lebih matre lagi? Beliau kalau bepergian biasanya menggunakan motor Kymco atau mobil Kijang. Suatu saat, ketika mampir sebentar di Griya jalan Pahlawan, mobil Kijang itu raib di curi. Well, berarti beliau harus ganti mobil, maka beliau pun membeli APV sebagai gantinya.
Sejujurnya, memang kayak yang matre kalau bicara seperti di atas. Tapi, semoga Anda tidak kehilangan point yang ingin saya sasar, yaitu, bahwa siapa pun yang menjadi bagus dalam suatu bidang, maka tidak perlu cemas akan penghidupan lahiriahnya. Semestinya pendidikan tinggi itu fokus mengarahkan setiap peserta didiknya untuk menjadi bagus dan menonjol dalam bidang yang menjadi energi minimalnya. Bukannya melestarikan mentalitas kuli yang tak berubah dari zaman pendidikan Belanda dulu. Juga bukannya mendorong dan mengimingi-imingi calon mahasiswa tentang “mitos” jurusan favorit yang bermasa depan cerah. Saya adalah bukti nyata dari orang yang kuliah di jurusan bermasa depan cerah tapi gagal menapaki karir di bidang tersebut, karena hanya seorang pecundang di bidang desain.
Toh fakta dari sebuah survey menunjukkan bahwa 9 dari 10 pengusaha sukses bukanlah sarjana. Berarti untuk menjadi kaya raya, orang tidak perlu menjalani pendidikan tinggi dan mendapat gelar sarjana segala. Silakan lihat para pedagang kuliner di seantero Bandung yang sebagian besar hanya tamatan SD atau malah tidak tamat SD sama sekali, tapi mereka bisa bikin cabang di mana-mana dan untuk menunjukkan keberhasilannya (secara materi), mereka mencantumkan gelar HAJI...
Nah, kalau tak ada jaminan bahwa dengan kuliah saya bisa lebih kaya dari para pedagang kuliner langganan saya yang umumnya tak pernah makan bangku kuliah itu, maka kembali saya melontarkan pertanyaan: kalau bukan untuk mendapat “kehidupan yang layak” (atau bahkan menjadi kaya raya), lantas pendidikan itu untuk apa?”
Kalau saya meyakini bahwa fungsi pendidikan itu untuk mengenal diri sendiri.

0 Komentar untuk "KALAU BUKAN UNTUK MENDAPAT “KEHIDUPAN YANG LAYAK”, LANTAS PENDIDIKAN ITU UNTUK APA? - Alfathri Adlin"